Mengenang
Kepergian Galih Masrukhi
Berkaca
pada Cermin Buram
Galih
Masrukhi (16), baru beberapa hari yang lalu (23/6) pergi dengan cara
mengenaskan. Kepergiannya seperti merontokkan pilar-pilar pendidikan yang
selama ini dibangun dengan susah payah. Kepergianya telah mengundang pula
berbagai “tuduhan” . Dan “tuduhan” yang paling sering terlontarkan adalah kesalahan
sekolah dengan sistem dan pernik-pernik aktivitas pendidikan yang dikembangkan
di dalamnya. Tak ada kata pembelaan yang
“dapat” membiaskan tuduhan dari kesalahan itu. Pembelaan dengan kata apa
saja seperti memberi garam pada laut. Berbuat apa saja juga seperti
kepura-puraan saja.
Memang,
melempar kesalahan bukanlah tindakan yang diperlukan. Tapi berupaya untuk menghindar
dari kesalahan, meskipun dengan kata-kata yang hebat, juga tak penting. Menyalahkan
sistem juga bisa saja bermakna “salah urus”. Ah, memang serba susah untuk
menguraikannya. Namun, persoalannya harus ada sesuatu yang diperbaiki. Sebab
membiarkan peristiwa ini tanpa ada langkah perbaikan, adalah keliru.
Sebenarnya,
tuduhan sistem itu terlalu kabur kalau dilihat dari aspek hukum. Makanya
tuduhan sistem bisa dibenarkan tapi juga bisa diragukan. Bisa jadi bahasa
sistem hanyalah ungkapan saja untuk mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah
atau keliru yang berjalan di lembaga pendidikan ini. Sekali lagi, lembaga ini seolah-olah
menjadi tak berdaya untuk membela diri. Namun pada sisi lain, sekolah ini harus
mengupayakan langkah perbaikan.
Hingga
25 hari hari sejak Galih pergi, yang bisa dilakukan pihak sekolah hanyalah
pendekatan hubungan kemanusiaan pada keluarga Galih. Ini dilakukan semata-mata
sebagai bentuk kepedulian sekolah. Menanggapi reaksi dari berbagai pihak
menjadi bagian yang tak terlalu dipikirkan. Paling-paling dengan bahasa ‘itu
terjadi saat siswa libur dan siswa sudah dikembalikan pengawasanya pada pihak orang
tua’. Barulah beberapa hari kemudian sekolah mencoba untuk menata kembali apa
yang dikatakan sebagai sistem.
Membaca
peristiwa kelam yang menimpa Galih dan dunia pendidikan di SUPM Tegal tentu diperlukan
kaca pembesar untuk melihat sistem pendidikannya. Ada apa dengan sistemnya?
Atau memang ada yang “lain” dari perilaku beberapa siswa pelaku? Untuk
menjawabnya, tentu diperlukan kehati-hatian dan kecerdasan berpikir. Sebab,
menyimpulkan secara serampangan, bisa saja membuat langkah dan kebijakan yang
tidak efektif.
Melakukan
koreksi dan perbaikan sistem, tentu semua akan sepaham. Hanya akan dimulai dari
mana dan fokus pada bagian apanya, tentu butuh diskusi yang lebih serius.
Konstruksi sistem pendidikan kita memang sudah saatnya untuk ditcermati dan
disikapi dengan lebih serius. Memang perlu kesabaran, keterbukaan, dan
kejujuran dalam pendekatan sistem ini. Inilah modal kalau ada keniatan untuk
memperbaiki pendidikan di rumah kita.
Pendidikan
sebagai sebuah sistem adalah satu-keasatuan yang saling berpengaruh antarsubsistem yang melingkari kompleksitas
sistem pendidikan itu. Di dalamnya ada siswa, guru, kurikulum, lingkungan,
kebijakan dan aturan, sarana, pendanaan, administrasi, budaya, dan sebagainya. Melihat kompleksitas sistem ini, maka pihak
mana saja bisa punya andil terhadap sistem yang dianggap salah.
Siswa,
misalnya, selama ini lebih diposisikan sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Dampaknya adalah lemahnya daya kretifitas dan keinginan untuk berkembang
secara lebih luas. Kondisi itu dikuatkan
dengan pendekatan pendidikan yang sering kita lakukan lebih bersifat
instruksional. Siswa tak lebih dari sebuah objek dari rutinitas kerja. Kalaulah
ada suatu instruksi kepada guru agar lebih memberikan perhatian pada siswa,
intstruksi itu tidak dibarengi dengan seperangkat sistem administrasi
pendidikan yang canggih. Sebagian banyak, guru nyaris tak memiliki catatan
kepribadian siswa yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Dan mungkin banyak
lagi aspek yang perlu kita kritisi.
Dengan
membenahi sedikit demi sedikit secara sistematis, mungkin dunia pendidikan kita
akan punya kemungkinan untuk lebih baik lagi. Jangan sampai, kepergian Galih
tidak memberikan kita pelajaran apa-apa.
Ubaidillah, S.Pd
Semoga bisa menjadi pembelajaran dan ada hikmah dibalik musibah ini.
ReplyDelete